Selasa, 10 Januari 2012

Bahasa & Masyarakat

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Bahasa merupakan suatu sistem berupa lambang bunyi, bersifat arbitrer, digunakan oleh suatu masyarakat tutur untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. Sebagai sebuah sistem maka bahasa terbentuk oleh suatu aturan, kaidah, atau pola-pola tertentu, baik dalam tata bunyi, tata bentuk kata, maupun tata kalimat. Bila aturan, kaidah atau pola ini dilanggar, maka komunikasi dapat terganggu (Abdul Chair,1998:1) .
Fungsi bahasa yang terutama adalah sebagai alat untuk bekerja sama atau berkomunikasi di dalam kehidupan manusia. Untuk berkomunikasi sebenarnya dapat juga digunakan cara lain, misalnya dengan isyarat, lambang-lambang, gambar atau kode-kode tertentu lainnya. Namun dengan menggunakan bahasa komunikasi dapat berlangsung lebih baik dan sempurna. Untuk mengetahui penjelasan selanjutnya, kami paparkan  dalam sebuah makalah yang berjudul “BAHASA DAN MASYARAKAT”.

B.       Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut.
1.      Apakah yang dimaksud dengan verbal repertoire?
2.      Apakah yang dimaksud dengan masyarakat tutur?
3.      Adakah hubungan antara bahasa dengan tingkatan social?



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Bahasa dan Tutur
Ferdinand de Saussure (1916) membedakan langage, langue, dan parole yang berasal dari bahasa Prancis yang dalam bahasa Indonesia dipadankan dengan satu istilah yaitu bahasa.
• Langage digunakan untuk menyebut bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara verbal di antara sesamanya. Langage tidak mengacu pada salah satu bahasa tertentu, tetapi pada bahasa umumnya, sebagai alat komunikasi manusia.
• Langue adalah sebuah sistem lambang bunyi  yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu untuk berkomunikasi dan berinterksi sesamanya. Langue mengacu pada bahasa tertentu yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu.
Misalnya: bahasa Indonesia, bahasa Belanda, bahasa Inggris.
• Parole adalah bentuk ujaran atau tuturan yang  dilakukan oleh anggota masyarakat di dalam berinteraksi atau berkomunikasi sesamanya.  Parole bersifat konkret, nyata ada, dan dapat  diamati secara empiris.

B.       Verbal Repertoire
Verbal repertoire adalah semua bahasa  beserta ragam-ragamnya yang dimiliki atau  dikuasai seorang penutur. (Chaer&Agustina, 2004)
• Alwasilah (1985) mengemukakan bahwa penjelasan dari hal tsb adalah keseluruhan kesiapan, kemampuan, dan keterlibatan seseorang untuk berkomunikasi lewat  bahasa dengan berbagai pihak dalam berbagai topik pembicaraan.
Verbal repertoire ada dua macam, yaitu yang dimiliki setiap penutur secara individual, dan yang merupakan milik masyarakat tutur secara keseluruhan.
• Jika suatu kelompok orang atau suatu masyarakat mempunyai verbal repertoire yang relatif sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan di dalam masyarakat itu, maka kelompok orang tsb adalah sebuah masyarakat bahasa/tutur (SpeechCommnunity)
Berdasarkan verbal repertoire yang dimiliki oleh masyarakat, masyarakat bahasa dibedakan menjadi tiga, yaitu
1.      Masyarakat monolingual (satu bahasa)
2.      masyarakat bilingual (dua bahasa)
3.      masyarakat multilingual.(lebih dari 2 bahasa)
Pada pokoknya masyarakat bahasa itu terbentuk karena adanya saling pengertian (mutual intelligibility), terutama karena adanya kebersamaan dalam kode-kode linguistik.  Memiliki persamaan nilai terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang ada dalam masyarakat tersebut.

C.      Masyarakat Tutur

Menurut Wijaya dan Muhammad (2006 : 46) masyarakat tutur ialah sekelompok orang dalam lingkup luas atau sempit yang berinteraksi dengan bhasa tertentu yang dpat dibedakan dengan kelompok masyarakat tutur lain atas dasar perbedaan bahasa yang bersifat signifikan.
Chaer dan Agustina (2004 : 36) mendefinisikan masyarakat tutur sebagai suatu kelompok orang atau masyarakat memiliki verbal repetoir yang relatif sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan di dalam masyarakat itu.
Fishman dalam Cher dan Agustina (2004 : 36) mengatakan masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-anggitanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi bahasa dan norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya.
Masyarakat tutur menurut Kridalaksana (2008 : 150) ialah kelompok orang yang merasa memiliki bahasa bersama atau yang merasa termasuk dalam kelompok itu, atau yang berpegang pada bahasa standart yang sama.
Gumperz dalam Sumarsono (2007 : 318) mengatakan bahwa masyarakat tutur ialah sekelompok menusia yang memiliki karakteristik khas karena melakukan interaksi yang teratur dan berkali-kali dengan tanda-tanda verbal yang sama, dan berbeda dari kelompok lain karena adanya perbedaan yang signifikan dalam penggunaan bahasa.
Berdasarkan pendapat para ahli bahasa dan sosiolinguistik diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat tutur ialah sekelompk orang atau individu yang memiliki kesamaan atau menggunakan sistem kebahasaan yang sama berdasarkan norma-norma kebahasaan yang sesuai.
William Labov dalam Sumarsono (2007 : 318) mengatakan bahwa masyarakat tutur tidaklah ditentukan oleh kesepakatan yang jelas dalam penggunaan unsur-unsur bahasa, melainkan lebih banyak oleh partisipasi penutur dalam seperangkat norma bersama ; norma ini bias diamati pada perilaku evaluatif yang terbuka, dan dari keseragaman pola-pola variasai yang basatrak yang tetap sehubungan dengan tingkat penggunaan tertentu.
Dalam masyarakat yang sesungguhnya, anggota-anggotanya memungkinkan memiliki ciri fisik yang berupa organ bicara (organ of speech) yang berbeda-neda yang pada gilirannya nantu menghasilkan idiolek yang berbeda. Dalam masyarakat itu anggota-anggotanya dimungkinkan pula memiliki kepribadian yang berbeda yang nantinya menimbulkan wujud dan cara bahasa yang berlainan. Sementara itu, asal kedaerahan yang berbeda akan melahirkan bermacam-macam variasi regional yang lazim disebut dialek. Dan akhirnya, status sosial ekonomi anggota masyarakat yang berbeda-beda akan mewujudkan sosiolek yang berbeda.
Faktor-faktor sosial dan individual yang lain, seperti umur, jenis kelamin, tingkat keakraban, latar belakang keagamaan, dan sebagainya tentu menambah komplek wujud bahasa yang terdapat dalam sebuah masyarakat tutur, sehingga tidak mustahil bahwa dalam sebuah masyarakat tutur terdapat sejumlah masyarakat tutur lain dalam skope yang lebih kecil.
Anggota-anggota sebuah masyarakat tutur tidak hanya dicirikan oleh bentuk bahasa yang digunakannya, tetapi juga ditentukan oleh pandangan atau persepsi mereka terhadap bentuk bahasa yang digunakan oleh mereka dan bentuk bahasa yang digunakan oleh anggota masyarakat yang lain. Misalnya, masyarakat tutur bahasa Jawa dialek Solo-Yogyakarta memiliki persepsi bahwa varian bahasa yang digunakannya memiliki prestise yang lebih tinggi dibandingkan dengan varian dialektal yang lain seperti bahasa Jawa dialek Jawa Timur.
Ciri khas bahasa seseorang disebut idiolek, sedangkan kumpulan idiolek dalam sebuah bahasa disebut dialek. Variasi yang digunakan oleh orang-orang yang berbeda tingkat sosialnya termasuk variasi dialek social atau sosiolek. (Nababan dalam Chaer dan Agustina, 2004 : 39)
Verbal repertoire ialah semua bahasa beserta ragam-ragamnya yang dimiliki atau dikuasai seorang penutur. Berdasarkan luas dan sempitnya verbal repertoil sebuah masyarakat tutur dibagi menjadi dua, yaitu :
1.      Masyarakat tutur yang repertoire pemakaiannya lebih luas, dan menunjukan verbal repertoire setiap penutur lebih luas pula.
2.      Masyarakat tutur yang sebagaian anggotanya mempunyai pengalaman sehari-hari dan aspirasi hidup yang sama, dan menunjukkan pemilikan wilayah linguistic yang lebih sempit, termasuk juga perbedaan variasinya.
Fishman dan Gumperz dalam Chaer dan Agustina (2004 : 38) mengatakan bahwa masayarakat modern mempunyai kecenderungan masyarakat tutur yang lebih terbuka dan cenderung menggunakan barbagai variasi dalam bahasa yang sama, sedangkan masyarakat tradisional bersifat lebih tertutup dan cenderung menggunakan variasi dan beberapa bahasa yang berlainan. Penyebab kecenderungan itu adalah berbagai faktor social dan faktor cultural.
Dalam sebuah masyarakat tutur, terdiri atas dua jenis penutur menurut Wijaya dan Muhammad (2006 : 48) yakni :
1.      Penutur berkompeten (Fully Fledge Speaker)
Penutur berkompeten ialah penutur yang benar-benar mampu menggunakan bahasa dalam berbagai pengetahuan tentang kosa kata dan struktur bahasa yang bersangkutan, tetapi juga mempunyai kemampuan untuk mengkomunikasikannya secara pragmatis. Seorang penutur yang berkompeten harus memiliki empat pengetahuan yakni : (1) pengetahuan mengenai gramatikan dan kosa kata suatu bahasa, (2) pengetahuan mengenai kaidah-kaiah berbahasa (ules of speaking), misalnya, pengetahuan bagaimana memulai sebuah pembicaraan, (3) pengetahuan tentang bagaimana menggunakan dan merespon tipe-tipe tindak tutur yang berbeda-beda, sepertyi perintah, permohonan atau ucapan terima kasih, (4) penegetahuan tentang bagaimana berbicara secara wajar.
2.       Penutur Partisipatif ( Unfully Fledge Speaker)
Penutur partisipatif ialah penutur yang tidak atau menguasai bahasa dalam berbagai tindak tutur atau komunkasi. Seorang penutur partipatif biasanya ialah seorang pendatang dalam sebuah masyarakat tutur dan ia mengalami sebuah culture shock atau gegar budaya. Wijaya dan Muhammad (2006 : 51) memberikan contoh sebagai berikut : Seorang penutur asli bahasa bali pindah ke kota semarang. Ia mendengar seorang tetangganya yang penutur bahasa Jawa mengatakan “ Sesuk aku arep tunggu manuk.” Secara harfiah kalimat tersebut berarti “Besok saya akan menunggu burung.”
Orang bali tersebut tidak memahami makna sebenarnya kalimat tersebut sebab ia hanya memahami kalimatnya secara harfiah, padahal, kalimat tersebut bermakna
“Besok saya akan menghalau burung.”
Perbedaan penafsiran kalimat ini karena penutur dan lawan tutur memuliki perbedayaan budaya.
Didalam sebuah masyarakat tutur terdapat individu-individu yang melakukan tuturan. Individu-individu tersebut melaksanakan komunikasi antar individu yang terjadi melalui dua tindakan yakni peristiwa tutur dan tindak tutur.
D.      Bahasa dan Tingkatannya
Pokok pembicaraan sosiolinguistik adalah hubungan antara bahasa dengan penggunaannya didalam masyarakat yaitu hubungan antara bentuk-bentuk bahasa tertentu, yang disebut variasi bahasa, ragam atau dialek dengan penggunaanya untuk fungsi-fungsi tertentu di masyarakat. Misalnya untuk kegiatan pendidikan kita menggunakan bahasa baku, untuk kegiatan berbisnis kita menggunakan ragam usaha, dan untuk kegiatan menciptakan karya seni (puisi atau novel) kita menggunakan ragam sastra.
            Adakah hubungan antara bahasa dengan tingkatan social? Untuk menjawabnya kita harus tahu maksud tingkatan social di dalam masyarakat itu sendiri. Tingkatan social dalam masyarakat dapat dilihat dari dua segi yaitu:
  1. Segi kebangsawanan
  2. Segi kedudukan social yang ditandai dengan tingkatan pendidikan dan keadaan perekonomian yang dimiliki.
Untuk melihat adanya hubungan antara kebangsawanan dengan bahasa, kita dapat mengambil contoh masyarakat tutur bahasa Jawa. Mengenai tingkat kebangsawanan ini Kuntjoroningrat (1967:245) membagi masyarakat jawa ada empat tngkat yaitu: (1)Wong ellik, (2) Wong saudagar, (3) Priyayi, (4) Ndara
Sedangkan menurut Clifford Geerts (dalam Pride dan Holmes (ed) 1976 membagi masyarakat jawa menjadi tiga tingkat yaitu : (1) priyayi, (2) bukan priyayi tetapi berpendidikan dan bertempat tinggal di kota, (3) petani dan orang-orang kota yang tidak berpendidikan.
Berdasarkan tingkatan tersebut melahirkan undak usuk yaitu variasi bahasa yang penggunaanya didasarkan pada tingkat-tingkat social. Hal ini terjadi di Jawa, pihak yang tingkat sosialnya lebih rendah menggunakan tingkat bahasa yang lebih tinggi yaitu karma, dan yang tingkat sosialnya lebih tinggi menggunakan tingkat bahasa yang lebih rendah yaitu ngoko.
Contoh:
A
B
Anda mau pergi kemana ?
Mau pulang
Kedudukan
Variasi
Kedudukan
            Variasi
-
Krama
1.     Sampeyan ajeng teng pundi?
+
Ngoko
1.    Arep mulih
2.   Panjenengan badhe tindak (dhateng) pundi ?
2.Arep mulih
+
Ngoko
1.Kowe arep menyang endi?

-
Krama
1.    Ajeng wangsul
2.Slira/panjenengan arep/tindak menyang ndi ?
2.    Badhe wangsul
                                            
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa :
  1. Istilah bahasa dipadankan dengan langage, langue dan parole.
a.       Langage digunakan untuk menyebut bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara verbal di antara sesamanya.
b.      Langue adalah sebuah sistem lambang bunyi  yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu untuk berkomunikasi dan berinterksi sesamanya.
c.       Parole adalah bentuk ujaran atau tuturan yang  dilakukan oleh anggota masyarakat di dalam berinteraksi atau berkomunikasi sesamanya. 
  1. Verbal repertoire adalah semua bahasa  beserta ragam-ragamnya yang dimiliki atau  dikuasai seorang penutur.
  2. Masyarakat tutur ialah sekelompk orang atau individu yang memiliki kesamaan atau menggunakan sistem kebahasaan yang sama berdasarkan norma-norma kebahasaan yang sesuai.
  3. Adanya hubungan antara tingkatan sosial dengan bahasa, contohnya pada masyarakat tutur bahasa Jawa.
B.       Saran-saran
1.      Masyarakat tutur yang satu dengan yang lainnya hendaknya saling menghargai karena walaupun beragam bahasa tetap satu bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia.
2.      Kita sebagai kaum terpelajar hendaknya dapat memberi contoh dalam penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.


DAFTAR PUSTAKA

http://kamusjawa.com/tingkatan-dalam-bahasa-jawa-undhak-undhuk-basa.html
Modul pembelajaran KD Bahasa dan Sastra Indonesia 1