Kamis, 29 Desember 2011

HUBUNGAN INTERPERSONAL PESERTA DIDIK



BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Hubungan interpersonal dapat diartikan sebagai hubungan anatar pribadi. Sebagai makhluk social, peserta didik senantiasa melakukan interaksi social dengan orang lain. Interaksi social menjadi factor utama dalam hubungan interpersonal antara dua orang atau lebih yang saling mempengaruhi. Seiring dengan perkembangan lingkungan social seseorang, interaksi social meliputi lingkungan  social yang luas, seperti sekolah dan dengan teman-teman. Dalam makalah ini akan dijelaskan bagaimana perkembangan interaksi social atau hubungan peserta didik dengan keluarga, sekolah, dan dengan teman sebaya.

B.       Rumusan Masalah
1.      Deskripsikan hubungan peserta didik dengan keluarga !
2.      Deskripsikan hubungan peserta didik dengan teman sebaya !
3.      Deskripsikan hubungan peserta didik dengan sahabat !
4.      Deskripsikan hubungan peserta didik dengan sekolah!



BAB II
PEMBAHASAN
A.       Hubungan dengan Keluarga
1.      Karakteristik Hubungan Anak Usia Sekolah dengan Keluarga
Keluarga merupakan unit social yang terkecil yang memiliki peranan penting dan menjadi dasar bagi perkembangan psikososial anak dalam konteks social yang lebih luas. Masa usia sekolah dipandang sebagai masa untuk pertama kalinya anak memulai kehidupan social mereka yang sesungguhnya. Hal ini menjadikan perubahan hubungan anak dan orang tua . Perubahan tersebut diakibatkan adanya peningkatan penggunaan waktu yang dilewati anak-anak bersama teman-teman sebayanya.
Sesuai dengan perkembangan kognitifnya yang semakin matang, maka pada usia sekolah anak secara berangsur-angsur lebih banyak mempelajari mengenai sikap-sikap dan motivasi orang tuanya, serta memahami aturan-aturan keluarga. Sehingga mereka lebih mampu untuk mengendalikann tingkah lakunya. Dalam hal ini, orang tua merasakan pengontrolan dirinya terhadap tingkah laku anak mereka berkurang dari waktu ke waktu dibandingkan pada tahun-tahun awal kehidupan mereka. Meskipun terjadi pengurangan pengawasan dari orang tua terhadap anak selama usia sekolah dasar, bukan berarti orang tua sama sekali melepaskan mereka, orang tua masih terus memonitor usaha-usaha yang dilakukan anak dalam memelihara diri merek, sekalipun secara tidak langsung.
Orabg tua dan anak-anak telah memiliki sekumpu;lan pengalaman masa lalu bersama sehingga membuat hubungan keluarga menjadi bertambah unik dan penuh arti. Suatu studi mendokumentasikan mengenai gagasan ini dengan menganalisis surat-surat yang ditulis oleh anak-anak usia sekolah pada salah satu surat kabar local dengan tema “Apa yang Membuat Ibu Jadi Terhormat”. Banyak dari anak-anak ini berkata bahwa merek selamanya menghargai kehadiran Ibu dalam kehidupan mereka. Mereka juga menghargai empati atau sensitivitas yang diberikan oleh Ibu mereka. Komentar dari anak-anak tersebut menyiratkan bahwa pada masa akhit anak-anak, secara tipikal antara orang tua dengan anak adalah sangat kuat (Seifert & Hoffnung, 1994).
2.      Karakteristik Hubungan Remaja dengan Keluarga
Perubahan-perubahan fisik, kognitif dan social yang terjadi dalam perkembangan remaja mempunyai pengaruh yang besar terhadap relasi orang tua-remaja. Salah satu cirri yang paling menonjol adalah perjuangan untuk memperoleh otonomi, baik secara fisik dan psikologis.Seiring dengan terjadinya perubahan kognitif selama masa remaja, perbedaan ide-ide yang dihadapi sering mendorongnya untuk melakukan pemeriksaan terhadap nilai-nilai dan pelajaran-pelajaran yang berasal dari orang tua. Akibtanya remaja mulai mempertanyakan dan menentang pandangan-pandangan orang tua serta mengembangkan ide-ide mereka sendiri.
Beberapa peneliti tentang perkembangan anak remaja mengatakan bahwa pencapaian otonomi psikologis merupakan salah satu tugas perkembangan yang penting dari masa remaja. Terdapat perbedaan mengenai tipe lingkungan keluarga yang lebih kondusif bagi perkembangan otonomi remaja. Sejumlah teoritis dan penelitan kontemporer mengyatakan bahwa otonomi yang baik berkembang dari hubungan orang tua yang positif dan seportif. Hubunga seportif memungkinkan untuk mengungkapkan perasaan positif dan negative, yang memebantu perkembangan kompetensi social dan otonomi yang bertanggung jawab. Hasil penelitian Lamborn dan Steinberg (1993) menunjukkan bahwa perjuangan remaja untuk meraih otonomi tampaknya berhasil dengan sangat baik dalam lingkungan keluarga yang secara simultan memberikan dorongan dan kesempatan bagi remaja untuk untuk memperoleh kebebasan emosional. Sebaliknya, remaja yang tetap bergantung secara emosional pada orang tuanya mungkun dirinya selalu merasa enak, mereka terlihat kurang kompeten, kurang percaya diri, kurang berhasil dalam belajar dan bekerja dibandingkan dengan remaja yang mencapai kebebasan emosional (Dacey & Kenny, 1997).
Para ahli perkembang mulai menjelajahi pera keterikatan yang aman dengan orang tua terhadap perkembagan remaja. Keterkaitan dengan orang tua pada masa remaja dapat membantu kompetensi social dan kesejahteraan sosialnya, seperti tercermin dalam cirri-ciri harga diri, penyesuaian, emosional, dan kesehatan fisik. Sebaliknya, ketidakdekatan emosional dengan orang tua berhubungan dengan perasaan –perasaan akan penolakan oleh orang tua lebih besar serta perasaan lebih rendahnya daya tarik social dan romntik yang dimiliki diri sendiri (Santrock,1995). Keterkaitan dengan orang tua selama masa remaja dapat berfungsi adaptif, yang menyediakan landasan kokoh dimana remaja dapat menjelajahi dan menguasai lingkungan-lingkungan baru dalam suatu dunia social yang luas dengan cara-cara sehat secara psikologis. Dan dapat menyangga remaja dari kecemasan dan perasaan-perasaan depresi sebagai akibat dari masa transisi dari anak-anak ke masa dewasa.

B.       Hubungan dengan Teman Sebaya
Hartub,dkk, (1996) menulis: “The social relations of children and adolescents are centered on their friends as well as their families,”sebab bagaimana pun bagi usia sekolah, teman sebaya mempunyai fungsi yang hamper sama dengan orang tua . Teman sebaya bias memberikan ketenangan ketika mengalami kekhawatiran. Berikut ini akan diuraikan beberapa aspek perkembangan hubungan peserta didik dengan teman sebayanya.
Karakteristik Hubungan Anak Usia Sekolah dengan Teman Sebaya
Berinteraksi dengan teman sebaya merupakan aktifitas yang banyak menyita waktu selama masa pertengahan dan akhir anak-anak. Barker & Wright (dalam Santrock, 1995) mencatat bahwa anak-anak usia 2 tahun menghasilkan 10 % dari waktu siangnya untuk berinteraksi dengan teman sebaya. Pada usia 4 tahun, waktu yang dihabiskan untuk berinteraksi dengan teman sebaya meningkat menjadi 20 %. Sedangkan anak usia 7 hingga 11 meluangkan lebih dari 40 % waktunya untuk berinteraksi dengan teman sebaya.
Pembentukan Kelompok
Interaksi teman sebaya dari kebanyakan anak usia sekolah terjadi dalam group atau kelompok. Sehingga sering disebut “usia kelompok”. Dalam pembentukan sebuah kelompok teman, anak usia sekolah dasar ini lebih menekankan pada pentingnya aktivitas bersama-sama seperti berbicara, berkeluyuran, berjalan ke sekolah, berbicara melalui telepon, mendengarkan music, bermain game dan melucu. Rubin & Krasnor (1980) mencatat adanya perubahan sifat dari kelompok teman sebaya pada anak usia usia sekolah. Anak usia 6-7 tahun, kelompok teman sebaya tidak lebih dari kelompok bermain, kelompok ini terbentuk secara spontan. Anak usia 9 tahun kelompok-kelompok menjadi lebih formal. Mereka membenuk klub atau perkumpulan dengan aturan-aturan tertentumempunyai keanggotaan inti, masing-masing anggota harus berpartisipasi dalam aktivitas kelompok dan yang bukan anggota dikeluarkan.
Popularitas, Penerimaan Sosial dan Penolakan
Pada anak usia sekolah dasar mulai terlihat adanya usaha untuk mengembangkan suatu penilaian terhadap orang lain dengan berbagai cara. Dalam penelitian yang dilakukan oleh para ahli psikologi perkembangan, menggunakan teknik yang disebut sosiometri (Hallinan, 1981), yaitu suatu teknik pemilihan yang digunakan untuk menentukan stats dan penerimaan social anak diantara teman sebayanya. Dari pertanyaan yang diajukan para peneliti menyusun sebuah sosiogram, yaitu suatu diagram yang menggambarkan interaksi anggota suatu kelompok atau bagaimana perasaan masing-masing anak dalam sutu kelompok terhadap anak-anak lain. Dari informasi melali sosiogram peneliti membedakan anak-anak atas dua yaitu anak-anakyang popular dan anak-anak yang tidak popular (unpopular). Hartub (1983) memcatat bahwa anak yang popular adalah anak yang ramah, suka bergaul, bersahabat, sangat peka secara social dan sangat mudah bekerja sama dengan orang lain. Popularitas juga dihubungkan denga IQ an prestasi akademik. Anak-anak lebih menyukai anak yang memiliki prestasi sedang, mereka sering menjauh dari anak yang sangat cerdas dan sangat rajin di sekolah, demikian juga halnya dengan mereka yang pemalas secara akademis (Zigler & Stevenson, 1993).
Anak yang tidak popular dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu : anak-anak yang ditolak dan anak-anak yang diabaikan. Anak-anak yang diabaikan adalah anak yang menerima sedikit perhatian dari teman-teman sebaya mereka, tetapi bukan berarti mereka tidak disenangi oleh teman-teman sebayanya. Anak-anak yang ditolak adalah anak-anak yang tidak yang tidak disukai oleh teman-tema sebayanya. Mereka cenderung bersifat mengganggu, egois, dan mempunyai sedikit sifat-sifat positif.
Anak-anak yang ditolak kemungkinan untuk memperlihatkan perilaku agresif, hiperaktif, kurang perhatian atau ketidakdewasaan, sehingga sering bermasalah dalam perilaku dan akademis di sekolah (Putallaz & Waserman, 1990). Akan tetapi tidak semua anak-anak yang ditolak bersifat agresif. Meskipun perilaku agresif inpulsif dan mengganggu mereka sering menjadi penyebab mengapa mereka mengalami penolakan, namun kira-kira 10-20% anak-anak yang ditolak adalah anak yang pemalu (Santrock, 1996).   

C.       Persahabatan
Friendship (persahabatan) merupakan karakteristik lain dari pola hubungan anak usia sekolah dengan teman sebayanya. Persahabatan lebih dari sekedar teman biasa. Menurut McDevitt dan Ormond (2002), terdapat tiga kualitas yang membedakan persahabatan dengan bentuk hubungan teman sebaya lainnya:
1.      Adanya hubungan yang dibangun atas dasar sukarela
2.      Hubungan persahabatan dibangun atas dasar kesamaan kebiasaan
3.      Persahabatan dibangun atas dasar hubungan timbale balik
Menurut Santrock (1998), karakteristik yang paling umum dari persahabatan adalah keakraban dan kesamaan. Keakraban ini menjadi dasar bagi relasi anak dengan sahabat. Karena kedekatan ini anak mau menghabiskan waktunya dengan sahabat dan mengekspresikan efek yang lebih positif terhadap sahabat dibandingkan dengan yang bukan sahabat (Hartub,1989), dan bersedia mengungkapkan dirinya secara terbuka (Bernt & Perry, 1990).
Persahabatan memainkan peranan yang penting dalam perkembangan psikososial anak (Rubin, 1980) diantaranya :
1.      Sahabat memberi kesempatan kepada anak untuk mempelajari keterampilan-keterampilan tertentu. Sahabat mengajarkan pada anak mengenai bagaimana berkomunikasi sat sama lain, sehingga anak memperoleh pengalaman belajar untuk engenali kebutuhan dan minat orang lain, serta bagaimana bekerja sama dan mengelola konflik dengan baik.
2.      Persahabatan memungkinkan anak untuk membandingkan dirinya dengan individu lain, karena anak biasanya menilai dirinya berdasarkan perbandingan dengan anak lain.
3.      Persahabatan mendorong munculnya rasa memiliki terhadap kelompok. Pada usia 10-11 tahun, kelompok menjadi penting. Anak menemukan sebuah organisasi social yang tidak hanya terdiri atas sekumpulan individu, tetapi juga mencakup adanya peran-peran partisipasi kolektif, dan dukungan kelompok untuk melakukan aktivitas-aktivitas kelompok.
Persahabatan merupakan salah satu fenomena interaksi social yang penting bagi anak usia sekolah. Anak-anak usia 8 tahun, terutama anak perempuan, biasanya memiliki beberapa teman dari sejumlah kegiatan yang berbeda. Padad umumnya hubungan pertemanan ini masih bersifat sederhanan dan saling tak bergantung tak jarang persahabatan dating dan pergi hanya dalam waktu beberapa bulan saja. Pada anak usia 10 tahun mulai memperhatikan kuailitas hubungan persahabatannya. Mereka sudah lebeh terampil bersosialisasi, sudah dapat menghargai nilai kedekatan serta ketergantungan satu sama lain. Karena pada usia ini emosi anak sudah mulai cukup matang antuk berempati, sehingga mereka juga mulai mencoba untuk berbagi rasa dan pikiran dengan teman-teman tertentu. Kualitas persahabatan pada usia ini lebih kompleks dan berlangsung lama.
Tiga tahap perkembangan gagasan anak tentang persahabatan menurur Hetherington dan Parke (1999), yaitu :
1.      Reward-cost stage (7-8 tahun)
Pada tahap ini anak menyebutkan cirri-ciri sahabat sebagai teman yang menawarkan bantuan, melakukan kegiatan bersama-sama, bias memberikan ide-ide, bias bergabung dalam permainan, dekat secara fisik dan memiliki kesamaan demografis.
2.      Normative stage (10-11 tahun)
Anak mengharapkan sahabatnya bias menerima dan mengagumi dirinya, setia dan memberikan komitmen terhadap persahabatan, serta mengekspresikan nilai dan sikap yang sama terhadap aturan-aturan dan sanksi.
3.      Emphatic stage (11-13 tahun)
Anak mengharapkan kesungguhan dan potensi intimacy dari sahabat, mengharapkan sahabat untuk memahami dan terbuka terhadap dirinya, mau menerima pertolongannya, berbagai minat dan mempertahankan sikap dan nili yang sama.

D.      Hubungan dengan Sekolah
Sekolah merupakan lingkungan artificial yang sengaja dibentuk guna mendidik dan membina generasi muda kearah tujuan tertentu, terutama untuk membekali anak dengan pengetahuan dan kecakapan hidup yang dibutuhkan dikemudian hari. Sekolah mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan anak. Anak –anak dan remaja. Hampir sepertiga waktunya remaja berada di sekolah. Menurut Santrock (1998), berbagai peristiwa hidup yang dialami oleh remaja selama berada di sekolah tersebut sangat mungkin mempengaruhi perkembangannya, seperti perkembangan identitasnya, keyakinan terhadap kompetensi diri sendiri, gambaran hidup dan kesempatan berkarier, hubungan-hubungan social, batasan mengenai bagaimana system social yang ada di luar lingkup keluarga berfungsi.
Dusek (1991) mencatat ada dua fungsi utama sekolah bagi remaja yaitu:
Memberi kesempatan bagi remaja untuk tumbuh secara social dan emosional, dan membekali mereka dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menjadi orang yang mandiri secara ekonomi dan menjadi anggota masyarakat yang produktif.  Sekolah mempengaruhi perkembangan anak, terutama perkembangan identitas, melalui dua kurikulum yaitu kurikulum formal dan kurikulum nonformal. Kurikulum formal meliputi sejumlah tuntunan akademik yang dapat membantu anak memperolh pengetahuan akademis dan kemampuan intelektual yang dibutuhkan untuk keberhasilan berpartisipasi dalam masyarakat. Kurikulum nonformal meliputi sejumlah perilaku yang ditampilkan oleh para guruyang berkenaan dengan prestasi akademis, motivasi belajar, serta pengambilan tanggung jawab, kepemimpinan dan otoritas.
Sekolah memainkan peranan penting bagi perkembangan anak, anak dihadapkan pada sejumlah tugas dan keharusan untuk mengikuti sejumlah aturan yang membatasi perilaku, perasaan dan sikap mereka. Interaksi dengan guru dan teman sebaya di sekolah memberikan suatu peluang yang besar bagi remaja untuk mengembangkan kemampuan kognitif dan ketrampilan social, memperoleh pengetahuan tentang dunia serta mengembangkan konsep diri yang lebih positif. Guru masih mengambil peran sentral dalam kehidupan anak dan remaja. Keberthasilan atau kegagalan remaja banyak dientukan oleh interaksi mereka dengan guru dis ekolah. Selama para remaja mendapat dukungan dan penguatan yang positif dari para guru, maka mereka berhasil dan senang derada di sekolah. Erik Erikson, 1963 (dalam Seifert & Huffnung, 1994) menyatakan bahwa guru yang baik adalah guru yang dapat menciptakan sense of industry dan bukan inferiority bagi para siswanya. Mereka memahami bagaimana melakukan selingan antara belajar dan bermain, menghargai kemampuan-kemampuan khusus murid, mengetahui bagaimana menciptakan suatu setting dimana anak-anak memandang diri mereka secara positif.

BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
Hubungan orang tua dan anak akan berkembang dengan baik apabila kedua belah pihak saling memupuk keterbukaan. Untuk mempertahankan keterikatan atau kedekatan anak dan orang tua dengan anak remaja, orang tua harus membiarkan mereka bebas untuk berkembang. Orang tua menjadi sumber penting yang mengarahkan dan menyetujui dalam pembentukan tata nilai dan tujuan-tujuan masa depan. Disamping orang tua, teman sebaya dan sekolah merupakan tempat bagaimana anak memperoleh pengalaman, pergaulan dan masalah-masalah yang berkaitan dengan perkembangan hidupnya.

B.       Saran-saran
1.      Agar tercipta hubungan yang baik antara orang tua dan anak, diharapkan orang tua lebih terbuka.
2.      Agar pengaruh sekolah memberikan nilai positif pada perkembangan anak, diharapkan guru sebagai simbol otoritas mampu menciptakan iklim kelas dan kondisi-kondisi interaksi diantara siswa dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
Desmita. 2009. Perkembangan Peserta Didik. Bandung : Remaja Rosdakarya


  

1 komentar: